Di kawasan Asia, Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki aset lingkungan yang bisa dikatakan sangat memadai. Kondisi geografis negeri ini yang didominasi oleh laut, menyimpan kekayaan hayati yang beraneka ragam, di mulai dari titik tertimur hingga bagian paling barat negeri ini. Akan tetapi, kemewahan alam yang luar biasa itu ternyata tidak begitu bisa dimanfaatkan dengan baik oleh putera-puteri negeri ini. Bencana dimana-mana, eksploitasi alam yang tak berperasaan terjadi berkali-kali, hingga mitos tentang persahabatan manusia dengan alam seolah musnah begitu saja.
Menyikapi hal ini, paradigma kebangsaan mengenai pengelolaan lingkungan pun turut dipertanyakan. Apa yang menyebabkan perilaku manusia begitu biadab dalam memperlakukan alamnya. Berikut petikan wawancara kru Manifest bersama Suparto Wijoyo yang pernah menjabat sebagai ketua TIMNAS Lumpur LAPINDO.
Menurut Anda, bagaimana sebenarnya paradigma lingkungan yang berkembang di Indonesia?
Paradigma lingkungan kita sesat. Selama ini, paradigma ekologi kita bahkan sama sekali tidak ekosentris. Manusia selalu memposisikan diri sebagai outsider dari lingkungannya. Padahal sesungguhnya dalam tata surya kita dan tataran ekosistem kita, manusia hanya merupakan bagian kecil dari ekosistem. Untuk itu seharusnya pandangan kita harus dirombak, dari antroposentris menjadi ekosentris. Untuk itulah, kini saatnya bagi kita untuk menjadi ”khalifah alamiah”. Prinsip bagi saya adalah, orang merusak lingkungan, mencemarkan lingkungan, itu tidak hanya dia melanggar hukum, tapi dia melawan Tuhan. Untuk itu saya selalu tekankan, tidak ada bahan pencemar yang paling menakutkan di dunia ini, kecuali manusia itu sendiri. Tidak ada destroyer yang paling hebat yang menghancurkan lingkungan kecuali kerakusan manusia itu..
Jadi perilaku negatif manusia itu tadi yang menjadi penyebab utama pengrusakan lingkungan itu tadi. Mungkin perilaku negatif ini juga pada akhirnya menular pada perilaku pembangunan yang selalu dimaknai dengan pembangunan fisik semata. Menurut anda?
Ya kesesatan paradigmatik itu tadi. La wong kita ini yang sustainable itu pembangunannya, bukan lingkungannya yang sustainable. Nah, inilah kemenangan kapitalisme, sehingga hukum harus mampu merombak itu. Saya selalu katakan, sekarang saatnya ada perombakan yang revolusioner dalam tata kebijakan kita. Caranya adalah dengan mengarusutamakan lingkungan sebagai poros kebijakan. Problematika utama perkotaan adalah kesesatan tata ruang yang telah bergeser menjadi tata uang. Apa yang terjadi di kota Malang misalnya, Malang sebagai kota sejuta spanduk. Areal-areal konservasi telah berubah menjadi areal pertokoan. Malang banjir, secara topografis aneh. Tapi itu terjadi di kota malang. Karena tataruangnya berubah menjadi tata uang. Kenapa pemkot dan pemkab Malang menjadi tidak berdaya menata ruang wilayahnya sendiri. Areal konservasi menjadi superblok, kawasan konservasi telah menjadi areal pergudangan, areal departement store. Kenapa bisa terjadi? Karena tata ruang telah bergeser menjadi tata uang dan investor telah berubah wajah menjadi ”predator perkotaan”. Itulah salahnya sistem pemilihan kepala daerah kita yang melalui partai politik. Dan lewat parpol itu tidak gratis karena ”jer basuki mowo beo”. Untuk itulah, paradigmanya harus dirubah menjadi ekosentris. Kita arusutamakan lingkungan. Dan yang penting sekarang, dalam RUU PLH yang baru ini, pejabat publik yang selama ini salah dalam mendesain ruangnya, salah dalam mengkonstruksi kebijakan lingkungannya, bisa dipidana. Jadi pejabat publik bisa dipidana karena kasus lingkungan. Pejabat publik bisa dipidana karena salah menetakan tata ruangnya areal konservasi dijadikan areal industri misalnya. Itu bisa juga dipidana melalui undang-undang tata ruang yang baru, UU 26/2007.
Untuk merubah paradigma tadi apakah satu-satunya dengan perombakan tata perundang-undangan?
Harus dengan melalui instrumen hukum. Saya katakan, hukum menjadi sesuatu yang penting untuk merekayasa sosial. Saya percaya bahwa hukum pasti mampu merekayasa perilaku publiknya. Maka hukum harus merekayasa pejabat agar jangan salah dalam mengkonstruk kebijakannya. Kalau salah, harus diproses hukum. Ini semua akan mendukung proses perombakan paradigma, perombakan perilaku pejabat dan publik juga. Untuk itulah hukum itu penting sebagai salah satu instrumen dan bukan satu-satunya cara. Negeri ini harus diselamatkan. Hasil survey internasional menyatakan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara paling tercemar di kawasan asia. Maka itu saya katakan, belum ada perubahan paradigmatik dalam konteks kebijakan, karena konteks kebijakan kita masih pro-kapital bukan pro-lingkungan. Dan tidak jelas juga hubungan antara negara dan para kapitalis, hubungan dengan korporasi-korporasi kapital yang ada. Buktinya, hubungan negara dan newmont saja bagaimana. Kasus lapindo merupakan salah satu bukti nyata keporakporandaan dari sistem sosial dan sistem ekologi kita. Saya katakan bahwa orang yang merusak lingkungan di negeri ini adalah teroris ekologis, ekoterorisme. Maka berdasarkan UU terorisme, kejahatan lingkungan adalah kejahatan terorisme. Tapi sayang sekali, negara sampai saat ini tidak pernah menerapkan UU terorisme. Dalam kasus Lapindo misalnya, saya bertanya, apa korbannya kurang massal? infrastruktur apa tidak banyak yang rusak? Tapi sayang sekali, dalam kasus sebesar Lapindo, yang sudah sedahsyat itu, tidak ada aparatur hukum yang berani menerakan UU anti terorisme yang kita sudah punya. Bahwa kejahatan lingkungan adalah kejahatan terorisme. Itu jelas dalam UU kita. Tapi kenapa itu tidak pernah diterapkan sampai hari ini. Ini perlambang keruntuhan negara hukum, dan matinya hukum lingkungan d Indonesia. Kasus newmont dan kasus Lapindo mengakibatkan hukum lingkungan sedang mengalami sakratul maut.
Mengenai kasus Lapindo dan Newmont misalnya, siapa sebenarnya yang paling bertanggung jawab?
Ada tanggung jawab negara, tapi juga ada tanggung jawab korporasi. Untuk itulah ada teori state responsibility, bagaimana hubungan negara dan Lapindo misalnya. Bagaimana ini, tanggung jawab negara dalam konteks Lapindo. Ada juga state liability yaitu tanggung gugat negara. Untuk itulah, sehubungan dengan itu, negara dalam kasus Lapindo, seharusnya negara mengajukan gugatan hukum kepada pihak Lapindo karena negara banyak dirugikan. Dan jaksa itu merupakan pengacara negara menurut undang-undang kejaksaan. Pasal 30 UU 16/2003, yang namanya kejaksaan dapat berperan sebagai pengacara negara. Di dalam kasus ini kok saya nggak dengar bahwa kejaksaan mengajukan gugatan kepada Lapindo atas kerugian yang diderita oleh negara akibat kasus semacam ini. Negara tidak bernyali, negara tidak berwibawa di hadapan LAPINDO.
Tapi juga ada tanggung jawab hukum Lapindo. Sebagai korporasi, dia memikul tanggung jawab hukum. Kalau kemarin yag diselesaikan soal cash and carry, itu hanya salah satu sisi saja dari penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan. Itu tidak menghapuskan tanggung jawab pidana Lapindo. Dikira dengan cash and carry yang diberikan maka Lapindo bebas hukum, tidak begitu seharusnya. Untuk itu, yang menyentakkan kita dalam kasus ini adalah, tidak ada evalusasi kinerja kasus Lapindo ini pada kabinet. Maka saya mengusulkan, ada hak interpelasi Dewan, kepada presiden berkenaan dengan kasus Lapindo. Hak interpelasi DPRD JATIM kepada gubernur, hak interpelasi DPRD kabupaten sidoarjo pada Bupati sidoari, karena eksekutif kita anggap gagal mengatasi kasus Lapindo. Tapi sampai saat ini juga tidak ada gerakan politik seperti itu. Mandegnya penegakan hukum, mandegnya sarana politik ketatanegaran kita, karena politik lingkungan ini belum menjadi arusutama kebijakan. Untuk itulah saatnya, belajar dari kasus Lapindo ini, kita melakukan re-evaluasi antara hubungan negara dengan coorporate, hubungan negara dengan korban pencemaran, dan ingat, bahwa hak atas lingkungan yang sehat dan baik adalah hak konstitusional. Sebagai hak konstiusional, maka rakyat memiliki hak klaim kepada negara dan juga kepada korporasi atas kerugian yang dideritanya. Tatkala negara gagal menyediakan kualitas lingkungan yang baik, maka sesungguhnya negara itu sedang disfungsional dalam menjalankan fungsi-fungsinya. (teg)