Archive for December, 2007

Suparto Widjoyo: Kejahatan Lingkungan Adalah Kejahatan Terorisme

Di kawasan Asia, Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki aset lingkungan yang bisa dikatakan sangat memadai. Kondisi geografis negeri ini yang didominasi oleh laut, menyimpan kekayaan hayati yang beraneka ragam, di mulai dari titik tertimur hingga bagian paling barat negeri ini. Akan tetapi, kemewahan alam yang luar biasa itu ternyata tidak begitu bisa dimanfaatkan dengan baik oleh putera-puteri negeri ini. Bencana dimana-mana, eksploitasi alam yang tak berperasaan terjadi berkali-kali, hingga mitos tentang persahabatan manusia dengan alam seolah musnah begitu saja.
Menyikapi hal ini, paradigma kebangsaan mengenai pengelolaan lingkungan pun turut dipertanyakan. Apa yang menyebabkan perilaku manusia begitu biadab dalam memperlakukan alamnya. Berikut petikan wawancara kru Manifest bersama Suparto Wijoyo yang pernah menjabat sebagai ketua TIMNAS Lumpur LAPINDO.

Menurut Anda, bagaimana sebenarnya paradigma lingkungan yang berkembang di Indonesia?
Paradigma lingkungan kita sesat. Selama ini, paradigma ekologi kita bahkan sama sekali tidak ekosentris. Manusia selalu memposisikan diri sebagai outsider dari lingkungannya. Padahal sesungguhnya dalam tata surya kita dan tataran ekosistem kita, manusia hanya merupakan bagian kecil dari ekosistem. Untuk itu seharusnya pandangan kita harus dirombak, dari antroposentris menjadi ekosentris. Untuk itulah, kini saatnya bagi kita untuk menjadi ”khalifah alamiah”. Prinsip bagi saya adalah, orang merusak lingkungan, mencemarkan lingkungan, itu tidak hanya dia melanggar hukum, tapi dia melawan Tuhan. Untuk itu saya selalu tekankan, tidak ada bahan pencemar yang paling menakutkan di dunia ini, kecuali manusia itu sendiri. Tidak ada destroyer yang paling hebat yang menghancurkan lingkungan kecuali kerakusan manusia itu..
Jadi perilaku negatif manusia itu tadi yang menjadi penyebab utama pengrusakan lingkungan itu tadi. Mungkin perilaku negatif ini juga pada akhirnya menular pada perilaku pembangunan yang selalu dimaknai dengan pembangunan fisik semata. Menurut anda?
Ya kesesatan paradigmatik itu tadi. La wong kita ini yang sustainable itu pembangunannya, bukan lingkungannya yang sustainable. Nah, inilah kemenangan kapitalisme, sehingga hukum harus mampu merombak itu. Saya selalu katakan, sekarang saatnya ada perombakan yang revolusioner dalam tata kebijakan kita. Caranya adalah dengan mengarusutamakan lingkungan sebagai poros kebijakan. Problematika utama perkotaan adalah kesesatan tata ruang yang telah bergeser menjadi tata uang. Apa yang terjadi di kota Malang misalnya, Malang sebagai kota sejuta spanduk. Areal-areal konservasi telah berubah menjadi areal pertokoan. Malang banjir, secara topografis aneh. Tapi itu terjadi di kota malang. Karena tataruangnya berubah menjadi tata uang. Kenapa pemkot dan pemkab Malang menjadi tidak berdaya menata ruang wilayahnya sendiri. Areal konservasi menjadi superblok, kawasan konservasi telah menjadi areal pergudangan, areal departement store. Kenapa bisa terjadi? Karena tata ruang telah bergeser menjadi tata uang dan investor telah berubah wajah menjadi ”predator perkotaan”. Itulah salahnya sistem pemilihan kepala daerah kita yang melalui partai politik. Dan lewat parpol itu tidak gratis karena ”jer basuki mowo beo”. Untuk itulah, paradigmanya harus dirubah menjadi ekosentris. Kita arusutamakan lingkungan. Dan yang penting sekarang, dalam RUU PLH yang baru ini, pejabat publik yang selama ini salah dalam mendesain ruangnya, salah dalam mengkonstruksi kebijakan lingkungannya, bisa dipidana. Jadi pejabat publik bisa dipidana karena kasus lingkungan. Pejabat publik bisa dipidana karena salah menetakan tata ruangnya areal konservasi dijadikan areal industri misalnya. Itu bisa juga dipidana melalui undang-undang tata ruang yang baru, UU 26/2007.
Untuk merubah paradigma tadi apakah satu-satunya dengan perombakan tata perundang-undangan?
Harus dengan melalui instrumen hukum. Saya katakan, hukum menjadi sesuatu yang penting untuk merekayasa sosial. Saya percaya bahwa hukum pasti mampu merekayasa perilaku publiknya. Maka hukum harus merekayasa pejabat agar jangan salah dalam mengkonstruk kebijakannya. Kalau salah, harus diproses hukum. Ini semua akan mendukung proses perombakan paradigma, perombakan perilaku pejabat dan publik juga. Untuk itulah hukum itu penting sebagai salah satu instrumen dan bukan satu-satunya cara. Negeri ini harus diselamatkan. Hasil survey internasional menyatakan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara paling tercemar di kawasan asia. Maka itu saya katakan, belum ada perubahan paradigmatik dalam konteks kebijakan, karena konteks kebijakan kita masih pro-kapital bukan pro-lingkungan. Dan tidak jelas juga hubungan antara negara dan para kapitalis, hubungan dengan korporasi-korporasi kapital yang ada. Buktinya, hubungan negara dan newmont saja bagaimana. Kasus lapindo merupakan salah satu bukti nyata keporakporandaan dari sistem sosial dan sistem ekologi kita. Saya katakan bahwa orang yang merusak lingkungan di negeri ini adalah teroris ekologis, ekoterorisme. Maka berdasarkan UU terorisme, kejahatan lingkungan adalah kejahatan terorisme. Tapi sayang sekali, negara sampai saat ini tidak pernah menerapkan UU terorisme. Dalam kasus Lapindo misalnya, saya bertanya, apa korbannya kurang massal? infrastruktur apa tidak banyak yang rusak? Tapi sayang sekali, dalam kasus sebesar Lapindo, yang sudah sedahsyat itu, tidak ada aparatur hukum yang berani menerakan UU anti terorisme yang kita sudah punya. Bahwa kejahatan lingkungan adalah kejahatan terorisme. Itu jelas dalam UU kita. Tapi kenapa itu tidak pernah diterapkan sampai hari ini. Ini perlambang keruntuhan negara hukum, dan matinya hukum lingkungan d Indonesia. Kasus newmont dan kasus Lapindo mengakibatkan hukum lingkungan sedang mengalami sakratul maut.
Mengenai kasus Lapindo dan Newmont misalnya, siapa sebenarnya yang paling bertanggung jawab?
Ada tanggung jawab negara, tapi juga ada tanggung jawab korporasi. Untuk itulah ada teori state responsibility, bagaimana hubungan negara dan Lapindo misalnya. Bagaimana ini, tanggung jawab negara dalam konteks Lapindo. Ada juga state liability yaitu tanggung gugat negara. Untuk itulah, sehubungan dengan itu, negara dalam kasus Lapindo, seharusnya negara mengajukan gugatan hukum kepada pihak Lapindo karena negara banyak dirugikan. Dan jaksa itu merupakan pengacara negara menurut undang-undang kejaksaan. Pasal 30 UU 16/2003, yang namanya kejaksaan dapat berperan sebagai pengacara negara. Di dalam kasus ini kok saya nggak dengar bahwa kejaksaan mengajukan gugatan kepada Lapindo atas kerugian yang diderita oleh negara akibat kasus semacam ini. Negara tidak bernyali, negara tidak berwibawa di hadapan LAPINDO.
Tapi juga ada tanggung jawab hukum Lapindo. Sebagai korporasi, dia memikul tanggung jawab hukum. Kalau kemarin yag diselesaikan soal cash and carry, itu hanya salah satu sisi saja dari penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan. Itu tidak menghapuskan tanggung jawab pidana Lapindo. Dikira dengan cash and carry yang diberikan maka Lapindo bebas hukum, tidak begitu seharusnya. Untuk itu, yang menyentakkan kita dalam kasus ini adalah, tidak ada evalusasi kinerja kasus Lapindo ini pada kabinet. Maka saya mengusulkan, ada hak interpelasi Dewan, kepada presiden berkenaan dengan kasus Lapindo. Hak interpelasi DPRD JATIM kepada gubernur, hak interpelasi DPRD kabupaten sidoarjo pada Bupati sidoari, karena eksekutif kita anggap gagal mengatasi kasus Lapindo. Tapi sampai saat ini juga tidak ada gerakan politik seperti itu. Mandegnya penegakan hukum, mandegnya sarana politik ketatanegaran kita, karena politik lingkungan ini belum menjadi arusutama kebijakan. Untuk itulah saatnya, belajar dari kasus Lapindo ini, kita melakukan re-evaluasi antara hubungan negara dengan coorporate, hubungan negara dengan korban pencemaran, dan ingat, bahwa hak atas lingkungan yang sehat dan baik adalah hak konstitusional. Sebagai hak konstiusional, maka rakyat memiliki hak klaim kepada negara dan juga kepada korporasi atas kerugian yang dideritanya. Tatkala negara gagal menyediakan kualitas lingkungan yang baik, maka sesungguhnya negara itu sedang disfungsional dalam menjalankan fungsi-fungsinya. (teg)

BADAN HUKUM PENDIDIKAN, SOLUSI CERDASKAH?

Badan Hukum Pendidikan merupakan suatu model kelembagaan institusi pendidikan yang diamanatkan oleh undang-undang Sisdiknas yang berarti, mau tidak mau , semua lembaga pendidikan-khususnya perguruan pastilah menjadi BHP. Namun pada kenyataannya, RUU BHP sudah menuai banyak kontroversi di masyarakat. Pertanyaannya, apakah RUU BHP akan mampu menjadi jawaban atas problematika pendidikan bangsa ini?
… continue reading this entry.

GLOBAL WARMING, ancaman yang tak disadari

Apa sebenarnya yang dimaksud dengan Global Warming ? Mungkin masih banyak yang belum paham mengenai hal ini. Pemanasan global (Global Warming) adalah suatu peristiwa dimana bumi yang kita pijak sekarang ini semakin panas dengan berkurangnya lapisan ozon. Sedangkan arti pemanasan global adalah kejadian meningkatnya temperatur rata-rata atmosfer, laut dan daratan bumi (Wikipedia Indonesia).
Dengan adanya perubahan iklim, berubah pula pola hujan, pola tanaman, sirklus air dan sebagainya. Bila berbagai perubahan itu tidak disertai dengan kemampuan beradaptasi manusia dan makhluk hidup yang lain, maka dikhawatirkan akan menimbulkan efek lainya. Diantaranya seperti krisis pangan, krisis air bersih, merebaknya penyakit baru dan hilangnya flora fauna yang ciri-ciri yang saya sebut sudah dapat kita lihat di Negara kita ini.
Pernyataan tentang terjadinya pemanasan global yang diberikan oleh para pakar LSM CAN (Climate Action Network) yang didasarkan pada asumsi umum atmosfer Bumi dan lautan menjadi hangat dalam 50 tahun terakhir yang terjadi akibat kecenderungan (trend) naiknya suhu global yang merupakan hasil dari perhitungan njelimet dan perata-rataan suhu udara yang diukur di seluruh dunia.
Selain itu, menurut Laporan Pembangunan Manusia (HRD) 2007 mencatat jejak kaki (emisi CO2 yang dihasilkan dari gaya hidup) penduduk Inggris yang hanya 60 juta jauh lebih dalam di atmosfer dibandingkan dengan penduduk Mesir, Nigeria, Vietnam, Pakisatan yang seluruhnya berjumlah 472 orang. Menurut Prof. Andresen seorang pakar termodinamika, adalah tidak mungkin berbicara tentang suhu sendirian pada sesuatu yang rumit seperti iklim di Bumi. Suhu hanya bisa ditentukan pada sebuah sistem yang homogen. Lebih dari itu, iklim tidak dibentuk oleh suhu sendirian. Perbedaan suhu akan menyebabkan terjadinya sebuah proses dan menghasilkan badai, arus laut dan lain-lain yang membentuk iklim. Menurut beliau metode yang sekarang digunakan untuk menentukan suhu global dan kesimpulan yang diambil dari metode tersebut lebih bersifat politis daripada ilmiah.
Masih menurut Climate Action Network (CAN), dalam 50 tahun kedepan dampak global warming bisa dirasakan secara langsung, misalnya pada suhu panas membuat badan kita rentan akan sakit. Sedangkan dampak tidak langsung berakibat pada meningkatnya penyakit menular serta dampak jangka panjang yaitu perubahan tinggi air yang dapat menyebabkan persediaan air bersih berkurang bahkan akan tidak ada air bersih lagi. Dapat diambilkan contoh daerah yang air bersihnya sudah bisa dikatakan tidak bersih lagi alias kotor yaitu Surabaya, daerah ini kadar air bersihnya menurut pakar ahlinya dapat diukur dengan nilai K.
Untuk mengatasi hal tersebut PBB mengadakan Konferensi Tahunan Perubahan Iklim atau UNFCCC ( United Nations Framework Convention of Climate Change) yang diadakan di Bali pada tanggal 3-14 Desember 2007. Konferensi ini dihadiri lebih dari 10.000 perwakilan dari 190 negara beserta LSMnya. Salah satu solusi yang ditawarkan dalam UNFCCC adalah pemberian insentif untuk negara pemilik hutan melalui perdagangan karbon. Ini adalah bagian dari mekanisma penyelamatan bumi dari ancaman global. Kandungan karbon mesti tetap terjaga di perut bumi agar tak menguap ke angkasa yang dapat mendidihkan suhu alam semesta, melelehkan es di kutub.
Misi indonesia adalah meloloskan skema pengurangan emisi karbon dari deforestasi dan degradasi (REDD). Apabila hal ini terwujud,maka indonesia bisa meraup pemasukan besar dari usaha menurunkan emisi. Hamparan hutan kita,meski banyak yang kritis akibat pembalakan liar, kebakaran dan konversi hutan, memiliki potensi besar dalam mengurangi emisi karbon dunia. Tetapi yang menjadi masalah sampai sekarang adalah belum jelasnya siapa yang berperan sebagai pembeli dan penjual. Selain itu akan dikemanakan uang hasil penjualan itu. Dan juga masih harus pula ditentukan, apakah pasar karbon menjadi satu–satunya alternatif atau apakah pembiayaannya dalam bentuk dana internasional. ( sumber : Tempo)
Sejauh ini masih terjadi pro dan kontra terhadap pemecahan masalah Global Warming tersebut. Pro dan kontra ini terjadi antara aktivis Organisasi anggota nonpemerintah yang tergabung dalam Climate Action Network (CAN) dan beberapa negara berkembang seperti Indonesia dan Brazil dengan beberapa negara yang tergolong dalam Negara Payung, yaitu Jepang, Amerika, Kanada. Pihak yang pro setuju terhadap perlunya sebuah aturan yang mengikat antara negara – negara dalam hal pengurangan emisi gas rumah kaca. Sedangkan yang kontra seperti negara jepang, amerika, dan kanada kurang setuju dengan adanya aturan yang mengikat itu.

Lemahnya penegakan peraturan mengenai perusakan lingkungan.
Ilegal logging, pembakaran hutan, asap pabrik – pabrik, efek gas rumah kaca dari negara maju, konversi hutan dan sebagainya juga menjadi penyebab adanya global warming. Dari banyaknya peristiwa kebakaran yang terjadi, Indonesia bisa dimungkinkan termasuk Negara yang menyebabkan terjadinya global warming. Mengutip berita kegiatan RISTEK(Riset dan Teknologi), tanggal 2, 7, dan 8 Oktober 2007 dapat disampaikan beberapa fakta yang menarik, dari hasil riset LSM Wetland International (WI) dan Delft Hydraulics pada November 2006 disebutkan bahwa Indonesia merupakan negara penghasil emisi ketiga di dunia setelah Amerika Serikat dan Cina dari posisi sebelumnya yaitu ke 21 (www.ristek.go.id).
Ilegal logging yang sering terjadi di Indonesia berdampak pada berkurangnya luas area hutan sehingga berkuranglah fungsi hutan sebagai paru-paru dunia. Aktor ilegal logging ini kebanyakan adalah pengusaha-pengusaha yang hanya mengambil untung dari melimpahnya katu di hutan-hutan indonesia. Contoh kasus misalnya seperti yang terjadi di Riau, saat Polisi Resor Pelalawan menyita puluhan truk dan ribuan batang kayu bulat milik PT Madukoro. Perusahaan ini adalah mitra pemasok kayu ke pabrik PT Riau Andalan Pulp & Paper. Para pekerja tersebut tidak mampu memberikan surat-surat kayu yang sah, ditambah dengan izin perusahaan yang menyalahi aturan.
Alhasil, gudang kayu seluas 20 Hectare milik PT Riau Andalan Pulp & Paper dipangkalan Kerinci, Pelalawan disegel sampai sekarang. Bahkan aparat kejaksaan setempat masih tetap meminta banding setelah 25 terdakwa mereka pekerja PT Madukoro dibebaskan oleh Peradilan Tinggi Riau awal November lalu. Di Riau sendiri, sebagian pengusahaan hutan (HPH) ternyata memiliki lahan konsesi di atas lahan lindung gambut dengan kedalaman 4-12 meter. Padahal sudah ada aturan hukum yang melarang lahan gambut di atas kedalaman 3 meter dikonversi. Sehingga dapat kita simpulkan bahwa peraturan yang ada hanya menjadi macan kertas karena tidak ditugakkan. ( sumber : Tempo)
Di indonesia sendiri sudah memuat aturan yang mengatasi masalah perusakan lingkungan. Namun pada kenyataannya, masih banyak pelaku-pelaku yang tidak bertanggung jawab masih bisa lolos dari jeratan hukum. Pertanyaan kemudian muncul Apakah hukum yang telah dibuat terlalu lemah? Atau lembeknya pemerintah dalam menangani para pelaku tersebut? Padahal pemerintah sendiri tahu apa akibat dari perbutan yang dilakukan oleh para pelaku tersebut. Sehingga kesan yang terlihat pemerintah negeri ini menutup mata atas kejadian tersebut.
Yang menjadi akan pertanyaan saat ini, setelah melihat semua yang ada disekeliling kita ini apakah pemerintah masih diam saja dan bingung dengan peraturan-peraturan apa lagi yang akan dibuat? Serta apa tindakan pemerintah untuk mencegah atau menimalisasikan dampak dari global warming dalam bentuk nyata bukan bentuk peraturan?
Sebagai generasi muda, kita dituntut untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup terutama lingkungan disekitar kita. Dari KTT yang diadakan di Bali tanggal 3-14 Desember 2007 ini, kita berharap terwujudkan penagulangan yang optimal terhadap ancaman global warming dan perubahan iklim. Tidak hanya penanggulangan secara teknologi tapi juga peraturan mengenai perusakan lingkingan yang harus ditegakkan.

PKL UB; potret buram enterprenaurial university??…

Menjamurnya pedagang kaki lima (PKL) yang mangkal di lingkungan kampus Universitas Brawijaya semakin meresahkan saja. Hal ini dibuktikan dengan kegerahan berbagai pihak yang merasa PKL menganggu ketertiban kampus. Pihak fakultas hingga universitas merasa terganggu dengan adanya PKL di sekitar lingkungannya.
Masalah mulai bermunculan ketika banyak sekali sampah-sampah yang berserakan tanpa ada yang peduli sedangkan jumlah PKL yang tanpa ijin semakin tak terhitung banyaknya.. Keadaan seperti ini dapat dijumpai di gerbang Fakultas Peternakan. Walaupun pihak universitas dan pihak kelurahan telah memasang papan peringatan -larangan berjualan di tempat tersebut-red, namun tetap saja hal itu tidak terlalu efektif. Sungguh sebuah masalah yang begitu pelik. Peraturan-peraturan yang telah ditetapkan itu pun lewat begitu saja.
Pola pertambahan jumlah pedagang illegal ini tentu membuat pihak kampus harus berusaha keras memutar otak untuk menemukan solusi efektif. Parahnya, hal ini ternyata bukanlah problem baru. Semenjak lima tahun yang lalu problem ini telah menjadi perbincangan yang tak kunjung dapat ditemukan solusi efektif untuk menyelesaikannya. Meskipun jumlah PKL telah dibatasi, tetap saja tidak ada perkembangan yang berarti. “Kami sendiri dari pihak Lembaga Pengabdian Masyarakat (LPM) Universitas Brawijaya mengaku kesulitan sekali dalam menyelesaikan masalah pengelolaan PKL. Sudah banyak sekali program yang kami terapkan tetapi tidak membuahkan hasil yang lebih baik,“ ujar Mukhlis, staf teknis incubator bisnis P4M ( Pusat Pelayanan Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat ).
Bagaimana tidak, memang sulit sekali memberikan pengarahan dan pembelajaran terhadap masing-masing individu dalam Paguyuban PKL yang tingkat pendidikannya relatif rendah. Apalagi paguyuban khusus PKL ini sendiri tidak jelas struktur keorganisasiannya, “Pihak LPM sampai saat ini pun belum mendapatkan laporan yang pasti mengenai siapa ketua paguyubannya, dimana tempat tinggalnya, bahkan data-data yang berhubungan dengan paguyubannya sampai saat ini belum ada sama sekali. Ini yang semakin membuat pihak LPM semakin bingung, sedangkan data-data yang berkaitan dengan PKL sangat dibutuhkan dalam pendataan dan laporan periodik setiap tahunnya“, beber pria setengah baya itu.
Pengelolaan PKL Brawijaya sudah mulai ditertibkan sejak akhir tahun 2002, tepatnya tanggal 21 November turunlah surat tugas dari rector guna penertiban PKL di Universitas Brawijaya. ”Berlandaskan dari surat tugas inilah saya mendapatkan amanah untuk merencanakan, mengatur, mengelola dan memantau, memberi laporan periodik ke rektorat dan bekerja sama untuk mensukseskan penertiban pengelolaan PKL yang jumlahnya sangat banyak ini, “ lanjut Mukhlis.
Mukhlis mengaku, sudah banyak cara yang ditempuh dalam rangka menertibkan dan membina PKL. Diantaranya yaitu pembatasan jumlah PKL yang masuk dan berjualan di dalam kampus Universitas Brawijaya. Namun usaha yang dilakukan ini tidak terlalu berhasil. Sampai saat ini hanya 59 orang saja PKL yang masuk ke dalam data LPM. Jumlah itu bisa meningkat dua bahkan tiga kali lipat dari jumlah yang ditetapkan. Semua ini dikarenakan banyaknya PKL illegal yang masuk dan berjualan di dalam kampus.
Ketidakpastian jumlah PKL ini dikarenakan ada sebagian PKL yang aktif dan sebagian yang lain merupakan PKL pasif. PKL yang aktif merupakan pedagang yang selalu berjualan di dalam kampus sesuai dengan tempat yang diberikan oleh pihak LPM. Sedangkan PKL pasif hanya berjualan di dalam kampus saat musim kuliah saja. Jika tiba masa liburan, hanya sebagian PKL yang tampak berjualan di lingkungan kampus. Hal Inilah yang jadi kesulitan pihak kampus dalam rangka pengelolaan dan penertiban PKL di lingkungan kampus.
Selain itu, masalah lainnya muncul ketika Program peminjaman modal kerja yang tidak berjalan dengan baik. Hal ini dikarenakan banyak PKL yang tidak mengembalikan pinjamannya tepat waktu. Bahkan ada yang menghilang sehingga hanya mengembalikan sebagian atau tidak sama sekali. Selain itu program pembuatan Kartu Tanda Anggota (KTA) dan penyeragaman kaos dengan rincian 1 kaos diberikan oleh pihak kampus dan 1 lagi dibeli oleh masing masing PKL juga belum maksimal.
Tarikan retribusi sebesar Rp. 1500/hari juga ditetapkan guna menertibkan PKL yang yang berada di dalam kampus, rincian dana sebesar seribu rupiah itu guna pembayaran jasa kebersihan dan keamanan, sedangkan sisanya untuk kas yang disetorkan ke rekening rektorat, lebih lanjut muklis juga mengatakan bahwa penarikan itu juga sudah tidak pernah disetorkan. Pihak kampus sebenarnya sudah rugi sangat besar akibat adanya PKL ini, jika dihitung mencapai jutaan rupiah, “Kami dari pihak LPM ( Lembaga Pengabdian Masyarakat ) binggung juga menentukan langkah apa yang paling tepat untuk lebih menertibkan mereka. Bahkan masih banyak lagi masalah yang timbul sebagai dampak adanya PKL ( Pedagang Kaki Lima ) yang masuk kampus,” jelasnya.
Tentang permasalahan yang dihadapi, berbagai upaya mulai dilakukan baik itu upaya prosedural hingga pendekatan sosiologis. Tapi semua upaya tersebut masih belum mencapai hasil yang maksimal. Harapan LPM untuk ke depannya semoga PKL bisa tertata baik, dan lebih mengerti apa saja aturan yang harus mereka patuhi. “Bahkan sekarang telah mulai dirintis pemindahan PKL di tiga titik, yakni di depan gerbang, di sekitar fakultas pertanian dan di Samantha Krida, “ tutur muklis.
Kesulitan lain dalam pengelolaan PKL di Universitas Brawijaya juga berasal dari dalam kampus sendiri. Misskomunikasi yang terjadi antara tiga lembaga internal yakni LPM, rektorat dan masing-masing fakultas, disebabkan belum adanya koordinasi yang erat antarpihak sehingga masalah pengelolaan PKL pun belum dapat teratasi sesuai harapan.
Saat ditemui reporter ManifesT, pihak PKL sendiri mengakui bahwa memang benar adanya penarikan retribusi sejumlah tertentu guna pembayaran jasa kebersihan dan keamanan. Program pembuatan KTA itu pun memang ada, tapi sudah lama sekali berakhir. “Memang banyak sekali, program-program yang diadakan oleh pihak kampus. Dulu untuk pembuatan KTA saya dipungut biaya tujuh ribu rupiah guna proses pembuatan KTA. Setelah itu pemungutan retribusi yang disetorkan setiap hari ke pihak LPM sebesar seribu lima ratus rupiah, kami juga telah memenuhi”, ungkap Jaenuri,salah seorang PKL. Lebih lanjut jaenuri juga mengatakan bahwa pihaknya merasa telah melaksanakan segala aturan yang telah ditetapkan. Kalaupun LPM mengatakan bahwa banyak kerugian dalam mendanai PKL, itu tidak seratus persen benar karena memang ada beberapa PKL yang belum mengembalikan pinjamannya atau belum membayar kewajibannya dengan berbagai alasan. “Inilah salah satu penyebabnya, jadi tidak semua PKL itu tidak disiplin tetapi memang ada sebagian kelompok yang melanggar dan tidak disiplin seperti itu. “ kata bapak ini serius.
Memang banyak sekali mahasiswa yang menerima adanya PKL yang berjualan di dalam kampus. Tanpa disadari, PKL ini membawa banyak manfaat karena harga yang terjangkau tanpa harus keluar jauh-jauh dari lingkungan kampus. Jika dilihat dari sudut kemanfaatan, memang keberadaan PKL banyak positifnya, namun jika dilihat dari sudut keindahan, kebersihan bahkan kampus merupakan lingkungan kaum intelektual keberadaan PKL sangat mengganggu sekali.
Sangat disayangkan bila hal-hal semacam ini harus terjadi, meskipun keadaan ini sudah lebih baik dibanding 5 tahun yang lalu akan tetapi mengingat berbagai problematika yang berkenaan dengan hal tersebut, maka haruslah ditemukan solusi efektif yang pada akhirnya tidak merugikan pihak manapun. Di satu sisi kampus dihadapkan pada satu pilihan untuk menciptakan suasana asri dan kondusif untuk aktifitas pendidikan, sedangkan disisi lain kewajiban untuk melakukan pemberdayaan masyarakat pun harus tetap dilakukan. (oik ,cby)

apa yang akan terlintas di benak kamu begitu mendengar istilah punk. tentu yang akan terlintas adalah urakan, amoral, free sex, drugs, dan hal-hal negatif lainnya.

Iya sih memang banyak banget anak punk dan para rocker yang kayak gitu . Contohnya aja si Elvis Presley yang karirnya hancur gara-gara dia nge-drugs dan akhirnya dia mati muda gara – gara over dosis . Atau The Beatles yang katanya sih jadi pemakai LSD pas masa kejayaanya mereka . Dan konon lagu mereka “Help” dibuat pas mereka lagi pada make LSD . fiuh… .
Tapi , gak semua rocker dan anak punk kayak gitu kok . Ada juga yang gaya hidupnya positif . Kelompok yang kayak gini menyebut diri mereka sebagai Straight Edge
Straight Edge sendiri lahir pada tahun 1981 . Founding Father Straight Edge ialah Ian MacKaye vokalis band hardcore/punk Minor Threat . MacKaye ngrasa muak sama kelakuan para rocker yang saat itu hedonis banget dan tentu aja deket banget ama drugs dan alcohol . Lalu tercetuslah ide untuk membuat sebuah gerakan yang bernama Straight Edge . Straihgt edge sendiri muncul untuk mengubah imej musik punk dan hardcore. Ian Mackaye beranggapan bahwa dia suka musik hardcore , dia suka memainkannya namun dia tidak suka dengan gaya hidup yang dijalankan Kemudian dia dan bandnya Minor threat membuat sebuah lagu berjudul Straight edge
“Waktu itu kan scene punk identik dengan self destruction,” ujar Noor Al-Kautsar a.k.a Ucay Rocket Rockers. “Ini adalah pemberontakan Ian MacKaye pas lihat banyak anak punk yang rusuh dan nge-drugs,” tambah Roma Maleakhi, vokalis Sherasupersweet(Pikiran Rakyat , 15 Mei 2007)
Konsep Straight Edge sendiri ialah menghindari segala sesuatu yang bersifat merusak diri seperti nge-drugs dan minum minuman beralkohol . Sehingga dari sini muncul slojgan “No drugs , no alcohol and no sex before married “.
“Straight edge merupakan jalan hidup dimana kita sebagai penganutnya harus dapat mengendalikan diri sendiri .Ini seperti tanggung jawab yang harus kita pegang teguh untuk menjalankannay “ujar salah seorang straighth edger yang mengaku menjadi straight edge sejak SMA klas 1
Minor threat sendiri sempet maenin lagu yang berjudul Straight Edge , simak deh liriknya .
I’m a person just like you
But i’ve got better things to do

Than sit around and f**k my head
Hang out with the living dead
Snort white s**t up my nose
Pass out at the shows
I don’t even think about speed
That’s something I just don’t need
I’ve got the straight edge


Bagian refrain tadi dinyanyikan berulang – ulang , sehingga orang yang ngrasa suka dengan gaya hidup Ian Mackaye mulai mengikutinya dan selanjutnya mengklaim diri mereka sebagai straight edger .
Straight edge dari tahun ke tahun pun semakin berkembang dan mempunyai era masing masing . Era pertama ialah era Old school berkembang di tahun 1980-an saat Ian MacKaye pertama kali mencetuskannya dimana yang diperjuangkan masih berkisar dengan no drugs , no alcohol and no sex before married . Era selanjutnya ialah era yang biasa disebut dengan Youth Crew yang mulai memperkenalkan unsur-unsur Straight Edge dengan cara yang berbeda Dengan menambahkan veganism dan animal liberation sebagai isu utama mereka . hal ini semakin diperjelas dengan lagu Youth of Today yang berjudul No More “meat-eating,flesh-eating,think about it/so callous this crime we commit” Inilah era dimana para straight Edge mulai menjadi vegetarian . Selain Youth of today band yang beridealisme straight edge ialah Gorilla Biscuit , Judge dan Bold .
“Para straight edger masa itu mulai menjadi vegetarian karena menganggap bahwa hewan pun punya suatu hak hidup yang tidak bisa dimusnahkan begitu saja”Jelas dayat vokalis Today is Struggle yang juga merupakan straight edger.
Pada awal tahun 1990an muncul sekelompok straight edge yang agak ekstrem dan menamai diri mereka hardline.Para hardline ini bertindak sangat agresif kepada orang yang mabuk atopun nge-drugs . Inilah yang membuat imej straight edge hancur di mata masyarakat sampai muncul istilah straight edge isn’t cool anymore .
Namun setelah itu di akhir 1990 an muncul band – band straight edge seperti band-band Punk Rock xAFBx,Lionheartxxx dan band-band sejenis lainnya yang kembali menawarkan “hidup bersih” yang tanpa kekerasan seperti yang dilakukan para hardline.Straight edge pun kembali diterima .
Straight edge sendiri identik dengan lambag “XXX” atau dengan gaya penulisan xStraightxEdgex . Arti XXX sendiri untuk X yang pertama ialah untuk tidak merokok , X yang kedua berarti tidak make drugs dan alkohol dan X yang ketiga adalah untuk tidak melakukan hubungan sex pranikah .
Selain identik dengan lambang”XXX”.Straight edge juga identik dengan tanda black”X” yang digambar dibawah punggung tangan . Awalnya sih tanda ini biasa digunain anak-anak dibawah umur yang dateng ke club – club di Washington D.C untuk ngasih tanda bahwa mereka masih belum boleh minum minuman beralkohol sesuai dengan aturan legal dringking yang berlaku disana .
Penganut filosofi straight edge pun beranggapan bahwa straight edge sangat menguntungkan bagi mereka secara rasional maupun secara moral .
“Jelas straight sangat berpengaruh positif,selain kesehatan saya terjaga karena tidak merokok ataupun minum saya pun tidak perlu mengeluarkan uang untuk membeli barang-barang itu”ujar dayat antusias .
Secara garis besar Straiht edge hanya ingin memperjuangkan apa yang dianggap dia benar . Seperti Ian MacKaye yang saat pertama kali mencetuskan straight edge walaupun di lingkungannya pada saat itu identik dengan gaya hidup yang hedonis . Saat ini straight edge sudah sangat populer tidak hanya di negara asalnya tapi juga di berbagai negara seperti Indonesia . Komunitas-komunitas straight edge pun sudah banyak terbentuk seperti Yogyakarta Hardcore(YKHC),memang tidak semua anggota YKHC merupakan straight edge tetapi kebanyakan mereka tidak merokok , nge-drugs walaupun mereka tidak mau mengklaim diri mereka sebagai straight edge . (Hty, kris)

Kegigihan membawa berkah

e“ Perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta,
Siapakah mereka
Akar-akar yang melata dari tanah perbukitan turun ke kota
Mereka cinta kasih yang bergerak
menghidupi desa demi desa…”
( Perempuan-perempuan Perkasa-Hartoyo Andangjaya- )

Yang terlihat hanya gerak matahari yang semakin tinggi setiap pagi di kampus ini. Yang terdengar hanya suara kendaraan yang lalu lalang disekitar lokasi parkir, dan yang terasa setiap kali hanya ketergesa-gesaan memasuki ruang kuliah. Namun kali ini berbeda. Inilah rutinitas yang selalu terjadi setiap harinya di kampus kita, Universitas Brawijaya. Perjuangan yang begitu gigih mencari nafkah dengan menjadi pedagang sederhana untuk menghidupi keluarga. Ini secuil potret kehidupan segolongan rakyat kecil yang mungkin tidak pernah terlintas dalam pikiran kita.
Tidak ada satu pum manusia yang ingin hidup susah. Memang tak bisa dipungkiri, jika dilihat dari kacamata masyarakat, profesi PKL ( Pedagang Kaki Lima ) memang kurang begitu enak didengar. Hidup susah, berpindah pindah dan sering berurusan dengan pihak keamanan sering menyertai suka duka kehidupan mereka. Namun, keadaan yang seperti ini tidak lantas membuat Agus, 45 tahun putus asa.
“ Saya kira-kira sudah hampir sepuluh tahun berjualan di sini. Selama itu tentunya banyak sekali pengalaman suka duka berjualan di dalam kampus, “ beliau memulai ceritanya.
“Hidup merupakan suatu perjuangan, jangan pernah menyerah jika ingin sukses, “ kata bapak dua anak ini riang.
Yang jelas keuletan tanpa didukung kemampuan mengaplikasikan usaha menjadi percuma. “ Ya, kita menyadari kedudukan kita sebagai pedagang kecil. Pelayanan terhadap mahasiswa yang harus diutamakan. Merekalah sumber rezeki saya, jika tidak mahasiswa, siapa lagi. Kita bingung juga, “ tambahnya.
Awalnya sekitar tahun 2000-an PKL yang ingin berjualan di lingkungan Universitas Brawijaya masuk secara bebas tanpa tanpa adanya larangan masuk dan berjualan di sekitar kampus. Namun, para pedagang-pedagang liar ini sering juga tertangkap jika ada penertiban mendadak karena sebelum mereka berjualan di dalam tidak meminta izin terlebih dahulu ke pihak kampus. Padahal, sesuai dengan prosedur, jika pedagang-pedagang ini baru bis a berjualan di dalam kampus jika telah meminta izin dan melaporkan data diri mereka ke LPM ( Lembaga Penelitian Masyarakat ).
Banyak sekali pedagang yang tidak mau repot dan asal dapat untung. Dari sinilah kemudian pada akhir tahun 2002, muncul konflik antara pihak kampus dengan PKL sebab rektorat telah menurunkan surat tugas dalam rangka pembinaan PKL di Universitas Brawijaya. Keadaan ini semakin memuncak karena PKL yang tergabung di dalam Paguyuban ini merasa tidak terima jika PKL harus ditiadakan dari kampus. Mereka sangat menginginkan adanya kebijakan dari pihak Universitas Brawijaya agar mereka tetap diizinkan berjualan di wilayah kampus.
“ Saat itu ramai dan kisruh sekali. Banyak sekali PKL ( Pedagang Kaki Lima ) yang menuntut agar tetap bisa berjualan di dalam lingkungan kampus. Bahkan tidak sedikit mahasiswa yang membantu PKL ( Pedagang Kaki Lima ) yang tergabung dalam paguyuban ini untuk berdemo menuntut pihak universitas Brawijaya,” ungkap pria asli Malang ini.
“ Alhamdulillah, akhirnya saya masih bisa mencari rezeki di kampus Brawijaya ini,” ceritanya dengan wajah sumringah. Memang keadaannya yang sekarang ini jauh dari impiannya dahulu saat masih duduk di bangku SMP, “ Dulu saya ini pengen sekali jadi pengusaha yang sukses, eh sekarang jadi PKL yang sukses…amin. Ya semoga saja, saya ini orangnya nggak neko-neko kok,” celoteh Agus Santoso sembari tertawa renyah.
Meskipun kalau dihitung hitung penghasilannya sebagai PKL bisa dikatakan pas pasan saja. Setiap harinya dia hanya memperoleh penghasilan kotornya 300-500 ribu. Sebagai tukang jualan es degan ini sudah lumayan besar, setidaknya sudah cukup untuk balik modal dan menghidupi 1 istri, 1 ibu dan 2 anaknya. Bahkan sampai sekarang Agus dapat menyekolahkan kedua anaknya sampai pada jenjang SMA. Usaha kecilnya pun kini mulai berkembang. “ Dulu saya hanya usaha sendirian, kadang-kadang saja istri saya ikut berjualan, namun sekarang saya sudah bisa nambah modal dan ada tiga orang saudara yang bisa ikut kerja bantu-bantu saya. Memang laba dari penjualan dagangan saya ini kecil tapi lama kelamaan usaha itu pasti berkembang. Semoga saja untuk ke depannya pihak universitas tetap memberikan kesempatan saya mengais rezeki di sini dengan lancar tanpa ada masalah lagi,” pungkasnya. (oik)

kata kata adalah pedang
diasah oleh nurani
dipertajam oleh pikiran
ditebaskan oleh yang berani

produk terbitan

sebagai organisasi mahasiswa yang bergerak di bidang jurnalistik, tentu dalam prosesnya LPM ManifesT telah menerbitkan berbagai macam produk jurnalistik baik dalam berupa majalah, jurnal, buletin, mini magz, dan lain sebagainya

—-

tentang kami

Lembaga Pers Mahasiswa ManifesT, sebagaimana namanya, merupakan lembaga penampung hasrat dan kegelisahan mahasiswa dan menumpahkannya dalam media jurnalistik mandiri. berdiri pada tahun 1985 dengan kedudukan masih di bawah naungan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya. eksis hingga saat ini dengan satu tujuan menciptakan dialog nurani untuk keadilan.
sengaja blog ini kami beri nama “akhirnya terbit juga”. Tahun 2004, boleh dikatakan sebagai awal masa suram LPM ManifesT. di tahun tersebut, dana khusus penerbitan dari pos fakultas dicabut. alhasil, para wak manifest kebingungan menemukan solusi untuk memanifestasikan ide-idenya dalam satu bentuk terbitan. maka dengan niat penuh untuk berbuat sekecil dan sekonyol apapun, maka blog ini pun diciptakan.

depan